Get Gifs at CodemySpace.com

Kamis, 05 Mei 2011

PENDEKATAN KONTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA


1. Belajar Matematika menurut Paham Kontruktivisme

Konsep pembelajaran kontruktivisme didasarkan kepada kerja akademik para ahli psikologi dan peneliti yang peduli dengan kontruktivisme.Para ahli kontruktivisme mengatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas di kelas,maka pengetahuan matematika dikonstruksikan secara aktif (wood, 1990).

Para hali kontruktivisme yang lain mengatakan bahwa dari perspektifnya kontruktivis,belajar matematika bukanlah suatu proses pengetahuan secara hati – hati,melainkan tentang mengorganisir aktivitas.Belajar matematika merupakan proses dimana siswa secaraaktif mengkonstruksi pengetahuan matematika.

Para ahli setuju bahwa belajar matematika melibatkan manipulasi belajar aktif dari pemaknaan bukan hanya bilangan dan rumus – rumus saja.Setiap tahap dari pembelajaran melibatkan suatu proses penelitian terhadap makna dasri penyampaian keterampilan hafalan dengan cara yang tidak ada jaminan bahwa siswa akan menggunakan keterampilan intelegensinya dalam matematika.

Confrey (1990),yang juga banyak bicara dalam kontruktivisme menawarkan suatu powerful construksion dalam matematika.Dalam mengkonstruksikan pengertian matematika melalui pengalaman,ia mengidentifikasi 10 karakteristik dari powerful construksion berfikir siswa.Lebih jauh ia mengatakan bahwa “powerful contruction” ditandai oleh :
a. Sebuah struktur dengan ukuran kekonsistenan internal
b. Suatu keterpaduan antar bermacam – macam konsep.
c. Suatu kekovergenan di antara aneka bentuk dan konteks
d. Kemampuan untuk merefeksi dan menjelaskan
e. Sebuah kesinambungan sejarah
f. Terikat kepada bermacam – macam sistem simbol
g. Suatu yang cocok dengan pendapat experts
h. Suatu yang potensial untuk bertindak sebagai alat untuk brtindak sebagai alat konstruksi lebih lanjut
Semua ciri powerful di atas dapat digunakan secara efektif dalam proses belajar mngajar dikelas.Menurut Confrey (1990),siswa – siswa yang belajar matematika seringkali hanya menerapkan satu kriteria evaluabi mereka dari yang mereka konstruksi misalkan dengan bertanya.Oleh karena itu pandangan siswa tentang “kebenaran” ketika siswa belajar matematika perlu mendapat pengawasan ahli dan masyarakat menjadi tidak lengkap.Dalam kasus ini peranan guru dan peranan siswa lain adalah menjustifikasi berfikirnya siswa.

2. Pembelajaran kontruktivisme dalam matematika
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.
Beberapa ahli kontruktivisme telah menguraikan indikator belajar mengajar berdasarkan kontruktivisme.Confrey (1991) menyatakan :
“. . sebagai seorang kontruktivisme ketika saya mengajarkan matematika,saya tidak mengajarkan siswa tentang struktur matematika yang obyeknya ada di dunia ini.Saya mengajar mereka,bagaimana mengembangkan kognisismereka,bagaimana melihat dunia melalui sekumpulan lensa kuantitatif. . “



Hal ini mencerminkan bahwa matematika hanyalah sebagai alat untuk berfikir,focus utama belajar matematika adalah memberdayakan siswa untuk berfikir mengkonstruksi pengetahuan matematika yang pernah ditemukan oleh ahli – ahli sebelumnya.
Teori Belajar dari Perspektif Konstruktivis
Secara umum yang disebut konstruktivisme menekankan kontribusi seseorang pembelajar dalam memberikan arti, serta belajar sesuatu melalui aktivitas individu dan sosial. Tidak ada satupun teori belajar tentang konstruktivisme, namun terdapat beberapa pendekatan konstruktivis, misalnya pendekatan yang khusus dalam pendidikan matematik dan sains. Beberapa pemikir konstruktivis seperti Vigotsky menekankan berbagi dan konstruksi sosial dalam pembentukan pengetahuan (konstruktivisme sosial); sedangkan yang lain seperti Piaget melihat konstruksi individu lah yang utama (konstruktivisme individu).
Konstrukstivisme Individu
Para psikolog konstruktivis yang tertarik dengan pengetahuan individu, kepercayaan, konsep diri atau identitas adalah mereka yang biasa disebut konstruktivis individual. Riset mereka berusaha mengungkap sisi dalam psikologi manusia dan bagaimana seseorang membentuk struktur emosional atau kognitif dan strateginya. Piaget misalnya mengusulkan tahapan kognitif yang dilakukan oleh semua manusia. Berpikir pada tiap langkah memasukkan tahapan sebelumnya sehingga makin terorganisir dan adaptif dan makin tidak terikat pada kejadian kongkrit. Piaget menjelaskan bagaimana tiap individu mengembangkan schema, yaitu suatu sistem organisasi aksi atau pola pikir yang membuat kita secara mental mencerminkan “berpikir mengenainya”. Dua proses diaplikasikan dalam hal ini yaitu asimilasi dan akomodasi. Melalui asimilasi kita berusaha memahami hal yang baru dengan mengaplikasikan schema yang ada; sedangkan akomodasi terjadi ketika seseorang harus merubah pola berpikirnya untuk merespon terhadap situasi yang baru. Seseorang melakukan adaptasi dalam situasi yang makin kompleks ini dengan menggunakan schema yang masih bisa dianggap layak (asimilasi) atau dengan melakukan perubahan dan menambahkan pada schema-nya sesuatu yang baru karena memang diperlukan (akomodasi).
Penjelasan di atas menunjukkan penekanan Piaget terhadap pemahaman yang dibentuk oleh seseorang, sesuatu yang berhubungan dengan logika dan konstruksi pengetahuan universal yang tidak dapat dipelajari secara langsung dari lingkungan. Pengetahuan seperti itu berasal dari hasil refleksi dan koordinasi kemampuan kognitif dan berpikir serta bukan berasal dari pemetaan realitas lingkungan eksternalnya.
Hal yang paling mendasar dari penemuan Piaget ini adalah belajar pada siswa tidak harus terjadi hanya karena seorang guru mengajarkan sesuatu padanya, Piaget percaya bahwa belajar terjadi karena siswa memang mengkonstruksi pengetahuan secara aktif darinya, dan ini diperkuat bila siswa mempunyai kontrol dan pilihan tentang hal yang dipelajari. Hal ini tidaklah meniadakan faktor guru dalam proses pembelajaran, justru sebaliknya lah yang terjadi. Pengajaran oleh guru yang mengajak siswa untuk bereksplorasi, melakukan manipulasi, baik dalam bentuk fisik atau secara simbolik, bertanya dan mencari jawaban, membandingkan jawaban dari siswa lain akan lebih membantu siswa dalam belajar dan memahami sesuatu.
Konstruktivisme sosial
Berbeda dengan Piaget, Vygotsky percaya bahwa pengetahuan dibentuk secara sosial, yaitu terhadap apa yang masing-masing partisipan kontribusikan dan buat secara bersama-sama. Sehingga perkembangan pengetahuan yang dihasilkan akan berbeda-beda dalam konteks budaya yang berbeda. Interaksi sosial, alat-alat budaya, dan aktivitasnya membentuk perkembangan dan kemampuan belajar individual. Vygotsky melihat bahwa alat-alat budaya (termasuk di dalamnya kertas, mesin cetak, komputer dll) dan alat-alat simbolik (seperti sistem angka, peta, karya seni, bahasa, serta kode dan lambang) memainkan peran penting dalam perkembangan kognitif. Sistem angka romawi misalnya punya keterbatasan untuk operasi perhitungan; berbeda dengan sistem angka arab yang biasa kita gunakan yang mempunyai lambang nol, bisa dibentuk pecahan, nilai positif dan negatif, menyatakan bilangan yang tak terhingga besarnya dan lainnya. Sistem angka yang dipakai adalah alat budaya yang mendukung berpikir, belajar dan perkembangan kognitif. System simbol ini diberikan dari orang dewasa ke anak melalui interaksi formal ataupun informal dan pengajaran.
Vygotsky menekankan bahwa semua proses mental tingkat tinggi, seperti berpikir dan pemecahan masalah dimediasi dengan alat-alat psikologi seperti bahasa, lambang dan simbol. Orang dewasa mengajarkan alat-alat ini ke anak dalam kegiatan sehari-hari dan si anak menginternalisasi hal tersebut. Sehingga alat psikologis ini dapat membantu siswa meningkatkan perkembangan mental dan berpikirnya. Pada saat anak berinteraksi dengan orang tua atau teman yang lebih mampu, mereka saling bertukar ide dan cara berpikir tentang representasi dan konsep. Sehingga pengetahuan, ide, sikap dan sistem nilai yang dimiliki anak berkembang seperti halnya cara yang dia pelajari dari lingkungannya.
Bagaimana Pengetahuan dikonstruksi?
Untuk dapat menjelaskan bagaimana pengetahuan dibentuk, tiga penjelasan yang bertahap merangkum berbagai pendekatan konstruktivisme ini:
1. Realitas dan kebenaran dari dunia luar mengarahkan pembentukan pengetahuan. Individu merekonstruksi realitas diluarnya dengan membentuk representasi mental secara akurat yang mencerminkan “keadaan apa adanya”. Tahap pertama yang tidak lain model pemrosesan informasi dari teori belajar kognitif.
2. Proses internal dari Piaget yaitu organisasi, asimilasi dan akomodasi mengarahkan pembentukan pengetahuan. Jadinya pengetahuan bukan hanya cermin dari realitas, namun suatu abstraksi yang tumbuh dan berkembang dengan aktivitas kognitif. Pengetahuan bukan sekedar benar atau salah; namun terus tumbuh secara internal yang konsisten dan diorganisasikan seiring dengan perkembangannya.
3. Faktor eksternal dan internal mengarahkan pembentukan pengetahuan. Pengetahuan tumbuh melalui interaksi faktor-faktor internal (kognitif) dan eksternal (lingkungan dan sosial). Deskripsi Vygotsky tentang perkembangan kognitif melalui pengenalan dan pemakaian alat-alat budaya seperti bahasa konsisten dengan pandangan ini.
Hal berikutnya dalam pendekaran konstruktivis ini adalah pertanyaan tentang apakah pengetahuan yang dibentuk itu bersifat internal, umum dan dapat ditransfer atau terikat dalam ruang dan waktu pada saat dibentuk. Apa yang dijelaskan oleh Vigotsky bahwa belajar tergantung konteks sosial dan berada dalam lingkup budaya tertentu memang tepat. Namun apa yang disebut benar dalam waktu dan tempat tertentu bisa menjadi salah di tempat dan waktu yang lain, seperti anggapan bahwa bumi itu datar sebelum Colombus. Ide-ide tertentu berguna pada komunitas tertentu, namun tidak bermanfaat apa-apa di komunitas lain. Apa yang disebut pengetahuan baru ditentukan sebagiannya dengan bagaimana ide baru tersebut sesuai dengan praktek yang berlaku pada saat tersebut. Sepanjang waktu, praktek yang ada dipertanyakan dan bisa diganti, namun sebelum itu terjadi praktek yang ada terus dilakukan karena dinilai tetap menguntungkan.
Selain itu belajar juga terkondisikan berdasar tempat berlangsungnya kegiatan, biasa yang disebut enkulturasi atau proses mengadopsi norma-norma, perilaku, keahlian, kepercayaan, bahasa, sikap dari satu komunitas tertentu. Jadinya pengetahuan tidak hanya dilihat sebagai struktur kognitif individu saja tetapi sebagai buatan dari komunitas sepanjang waktu. Apa yang dilakukan oleh komunitas, cara bagaimana mereka berinteraksi dan menyelesaikan suatu hal, seperti halnya alat yang dibuat oleh komunitas, membentuk pengetahuan dari komunitas tersebut. Belajar artinya menjadi lebih mampu untuk berpartisipasi dalam kegiatan dan pemakaian alat dan mendapat bagian identitas sebagai anggota komunitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar